Penulis : Abu Ishaq Umar Munawwir
Thursday, December 14, 2006 12:58 PM
Alhamdulillah washshalaatu wassalaamu ‘ala rasulillah wa’ala aalihi wa ashaabihi waman waalaah.
Kalau saja majalnya adalah makalah ilmiyyah, ingin rasanya menorehkan muqaddimah yang selama ini membuat diri gergetan ingin mengungkapkan sesuatu berkenaan dengan poligami teristimewa tentang kemulian wanita dalam Islam serta hak mereka yang tidak bisa dipandang begitu saja dengan sebelah mata.
Saudara, belakangan ini “rating” perbincangan tentang poligami sedang menanjak atau mungkin sudah di puncak. Tak terkecuali milist ini, bahkan adminnya sendiri yang mulai meniupkan angin menggelitik yang membuat sebagian anggota tak tahan untuk berdiam tidak ikut berbicara, Pak Ahmad –sudah saya duga sebelumnya- terlihat begitu antusias menanggapinya
Satu hal yang saya ajak saudara sekalian untuk sejenak meresapi, kerap dalam pembicaraan seputar poligami yang diangkat dan dihighlight adalah BAGAIMANA poligami yang baik, syaratnya serta teknis pelaksanaannya. Sering sekali luput dalam pembahasan itu mengenai KENAPA seseorang harus berpoligami dan sekiranya tidak luput pun maka tidak akan lebih dari sekedar alasan ‘emergency exit’.
Para ustadz dan mubaligh tak henti-henti mengedukasi umat akan dibenarkannya poligami dalam islam dan bagaimana poligami yang dibenarkan itu. Tapi sayang, sedikit sekali umat yang mengerti kenapa atau dengan tujuan apa Islam melegitimasi adanya poligami. Lebih spesifik, kenapa atau dengan tujuan apa seseorang itu sampai berpoligami. Sehingga tidak heran jika kita perhatikan argument mereka yang menentang poligami adalah lebih didasarakan pada masalah discredit dan ‘emergency exit’. Sialnya, mereka yang berpraktik poligami, kebanyakan beralasan sama, tidak peduli dia selebritis beriman tipis ataupun pemuka yang dari sisi keilmuan bisa dibilang di atas rata-rata. Duh…!
Mari kita sama-sama membukan tafsir (asbabun nuzul dan asbabul wurud) serta kitab para ulama, untuk sejenak mencari tahu KENAPA berpoligami, sehingga kita bisa mendapatkan suatu pemahaman menyeluruh dan bisa menyampikan kepada umat bahwa ada hal lain dalam poligami yang tidak semata hanya pada BAGAIMANA berpoligami.
Nah, kali ini saya belum tertarik untuk membahas KENAPA instead of BAGAIMANA. Silakan Pak Abu Umair dan Pak Ahmad menurunkan pembahasannya. Nada bicara antum berdua sudah menjurus tuh bapak-bapak… (lisaanul qaul dan juga lisaanul haal)! Semoga Allah memberikan kemudahan dan kelapangan rizki kepada Pak Abu Umair dan Pak Ahmad sehingga bisa dengan baik dan benar mengamalkan BAGAIMANA, namun demikian jangan lupa untuk memberikan jawaban yang istimewa manakala ditanya KENAPA. Kalau saya mah…ehm…out of record
Satu hal, silakan kalau mau dibuka diskusi baru, poligami a.k.a poligini dalam Islam untuk kondisi normal paling banter hukumnya mubah! Nah lho… yang bilang sunnah silakan beberkan dalilnya… Dan adil bukan merupakan syarat. (setidaknya sampai saat ini saya masih berpendapat demikian )
Berkenaan dengan masalah pengantin wanita mengajukan syarat ketika akad nikah agar tidak dimadu, saya penuhi undangan Pak Abu Umair nih untuk ikut meramaikan.
Pada Pak Abu Muhammad bin Kaswan saya mohon maaf untuk kali ini pun saya belum bisa memenuhi apa yang antum harapkan yaitu menulis dengan rapi lengkap dengan teks arab dan semisalnya. Menyengaja menulis atau menyusun suatu pembahasan ilmiyyah tentu tidak seperti ketika diksusi dimana yang diingat/terbersit itulah yang yang ditulis. Bagi saya pribadi, jika ingin menulis dengan bentuk yang Pak Abu Muhammad usulkan, maka saya harus serius menurunkannya dengan runut sistematis dan sudah tentu harus dengan penyebutan rujukan yang jelas terutama nomor ayat serta hadits. Kalau dikatakan, “lho kan hanya menuliskan dalam bentuk yang lebih rapi ya akhi, bukan membuat pembahsan ilmiyyah yang utuh?” Maka saya jawab, sama saja, rasanya ko’ ya ndak nyaman ya, menulis rapi kalo tidak mengusahakan maksimal…itu saya pribadi lho…
Alasan lain (sebetulnya lebih ke arah apologi J), sengaja dibuat demikian agar para anggota penasaran dan mau belajar agar bisa membuka dan megambil manfaat langsung ke buku induk. Sebab kalau ditulis lengkap semua terjemah kata/istilah, demikian juga hadits dan ayat, nanti dia merasa sudah cukup. Ayatnya ada, haditsnya ada, penjelasannya pun juga sudah tersedia. Tapi kalo sedikit-dua dikit kita simpan agar penasaran, tentu rasanya akan lain kan?:)
Pak Fuad, ini saya coba tulis dengan model yang antum inginkan. Mengemukakan pendapat dengan dalilnya serta ulama yang berpendapat demikian. Kalu ingin sampe bagimana tarjih dan qaidah yang digunakan, itu mah ya bukan diskusi lagi, tapi seseorang langsung menulis dan menurunkan pembahsan sementara yang lain hanya tinggal baca saja. Wah, tidak akan seru kalu begitu! Silakan, saya undang sampiyan untuk ikut berkomentar, kalau sudah saya buat begini masih ndak komentar juga, duh…kebangetan deh!
Kembali ke inti permasalahan, fabillaahi ta’ala nasta’in:
Masalah ini bukan masalah biasa yang bisa dengan mudah kita bawa ke khalayak ramai. Pastikan kita cukup bijak dalam menyikapinya. Apa yang sedari dulu tidak ‘populer’ tidak serta merta kita coba untuk mempopulerkannya sekarang. Patikan dulu kenapa itu tidak populer.
Dalam masalah ini, ringkasnya ada dua pendapat yang masing-masing memiliki alasan yang cukup kuat dan akurat:
1. Tidak boleh seorang wanita atau keluarganya menetapkan syarat dalam aqad nikah agar si wanita tidak dimadu. Jika ini terjadi, maka akad nikah tetap sah dan syarat yang ditetapkan tersebut tidak berlaku. Dengan kata lain si suami tidak harus memenuhi syaratnya dan status akad/pernikahannya tetap sah tidak terpengaruh sama sekali.
Berbaris dengan rapi dalam pendapat ini adalah para fuqaha dari kalangan Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Pendapat ini dinisbatkan juga kepada Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas serta sebagian fuqaha Tabi’in semisal Sa’id bin Al-Musayyib (Musayyab?), ‘Atha, Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri serta Ibrahim An-Nakha’i.
Tidak ketinggalan Ibnu Hazam sebagai wakil dari kalangan Zhahiri ikut berbaris di sini.
Dalilnya:
(1) Hadits Nabi: “Setiap syarat yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah bathil.” (Bukhari dan Muslim)
Menetapkan syarat agar tidak menikah lagi/memadu jelas bertentangan dengan apa yang ada di dalam kitab Allah bahkan bisa dikatakan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, di mana Allah berfirman: “Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi; dua, tiga atau empat.” (An-Nisa: 3)
Dengan demikian persyaratan tersebut bukan saja tidak ada dalam Kitab Allah malah justru bertentangan dengan apa yang jelas dan lugas tercantum dalam Kitab Allah.
(2) Hadits Nabi: “Setiap muslim terikat dengan syarat-syarat yang mereka tetapkan kecuali syarat yang implikasinya mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (At-Tirmizi dan Abu Dawud)
Penetapan syarat tidak boleh menikah lagi jelas merupakan bentuk mengharamkan sesuatu yang halal.
(3) Apa yang diriwayatkan dari sebagian shahabat diantaranya Ibnu Abbas bahwa mereka menetapkan sahnya aqad yang semisal itu. Adapun status syaratnya adalah gugur dan tidak harus dipenuhi.
(4) Logika. Pada hakekatnya, syarat seperti ini adalah janji seorang suami terhadap istrinya. Padahal yang namanya janji, kendati menepatinya termasuk bagian dari akhlak mulia, tidak dituntut secara syar’i sehingga si suami bisa saja ingkar dan tidak menepati.
2. Boleh hukumnya bagi seorang wanita atau keluarganya untuk menetapkan persyaratan ketika aqad nikah bahwa si suami tidak akan memadu si wanita. Kalau ini terjadi, maka aqadnya sah dan persyaratan itu juga ada. Artinya, si suami wajib memenuhi syarat ini. Kalau suatu saat si suami melanggar maka si istri berhak menuntut fasakh pernikahannya dan ia berhak menuntut dipenuhi semua haknya. (Coba buka buku fiqih, lihat Kitab Nikah bab Khulu’. Ada catatan penting berkenaan pengamalan hal ini. Jangan bilang kalau diantara anggota milis ini ada yang tidak tahu khulu’ malah baru mendengarnya sekarang:). Akhi, masalah nikah itu bukan hanya sebatas ta’arruf, nazhar, khithbah, ‘aqad serta thalaq, tapi ada juga yang namanya ‘ila, zhihar, khulu’ dll… Pahami dulu, baru ngobrol poligami yah… karena itu bisa terjadi lho manakala sampiyan kelak berpoligami. Katanya kan al-ilmu qabla al-qauli wal ‘amal
Berbaris di belakang pendapat ini adalah para fuqaha dari kalangan Hambali. Pendapat ini dipegang juga oleh sebagian shahabat diantaranya Umar bin Al-Khaththab, Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqash, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Dari kalangan tabi’in: Syuraih Al-Qadhi, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits bin Sa’d, Thawus, Az-Zuhri, Al-Auza’I, serta Sa’id bin Jubair.
Dalilnya:
(1) Redaksi sebagian ayat yang tegas menyatakan wajibnya menunaikan aqad, janji serta syarat. Diantaranya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Al-Maidah: 1)
“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 34)
Serta hadits Nabi: “Empat hal yang apabila terkumpul dalam diri seseorang maka dia adalah seorang munafiq sejati. Barang siapa yang terdapat dalaml dirinya salah satu dari keempat hal tersebut maka berarti dia sedang berada dalam salah satu cabang kemunafiqan sampai dia meninggalkannya: Apabila diberi amanat dia khianat, apabila bicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari dan apabila berselisih dia akan bermusuhan.” (Bukhari dan Muslim)
Ayat dan hadits ini jelas memerintahkan untuk memenuhi janji, aqad dan juga syarat serta apapun yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Termasuk dalam hal ini adalah syarat yang ditetapkan seorang istri kepada suaminya agar tidak memadunya.
(2) Hadits Nabi: “Syarat yang paling utama untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya kalian bisa halal berhubungan badan” (Bukhari)
Hadits ini tegas menyatakan bahwa setiap syarat yang bisa mengantarkan pada suatu pernikahan adalah harus ditunaikan karena masalah nikah lebih mulia kedudukannya serta lebih berharga dari pada harta. Penetapan syarat dari istri agar suami tidak memadunya adalah termasuk ke dalam bagian ini serta masyru’.dan suami wajib memenuhnya.
(3) Hadits Nabi ketika Ali meminang putri Abu Jahl kemudian Fathimah mengetahuinya lalu datang kepada Nabi seraya mengatakan: Kaum mu mengira kalau engkau tidak bisa marah demi membela putrimu padahal Ali hendak menikahi putri Abu Jahl. Mendengar penuturan Fathimah ini Nabi segera bediri seraya mengatakan: “Sesungguhnya Fathimah adalah bagaian dari diriku, sehingga akan menyakitiku apapun yang menyakitinya, sungguh saya tidak suka sekiranya mereka berbuat jelek terhadapnya… Sesungguhnya Bani Hisyam bin Al-Mughirah telah datang meminta ijin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka saya tidak mengijinkannya dan tidak akan mengijinkannya. Saya tidak sedang mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram. Hanya saja tidak akan pernah bersatu putri rasulullah dengan putri musuh Allah kecuali jika Ibnu Abi Thalib menceraikan putriku.” (Bukhari dan Muslim)
Dari hadits ini tampak bahwa Nabi menetapkan syarat kepada Ali agar tidak memadu Fathimah serta tidak melakukan perbuatan yang bisa menyakiti hatinya. Sehingga ketika Ali berniat untuk menyelisihi syarat ini maka Nabi segera mengingatkannya dengan hal tersebut. Dan beliau mema’lumkan kepada manusia bahwa beliau tidak akan melepaskan syarat itu dan beliau dengan sikapnya ini tidak berarti sedang mengharamkan yang halal dan tidak pula penghalalkan yang haram. Akan tetapi ini semua adalah berkaitan dengan apa yang Ali pilih dan wajib dia penuhi.
(4) Apa yang diriwayatkan dari sebagian shahabat bahwa mereka berfatwa dan menetapkan wajibnya suami memenuhi syarat tersebut jika sejak awal memang meridhainya:
a. Seseorang berkata kepada Umar: Saya menikahi seorang wanita dan dia menetapkan syarat berkaitan dengan rumahnya dan agar saya tidak mengajaknya safar. Namun saya harus bersafar bersamanya ke daerah ini dan itu. Maka Umar menjawab: Dia berhak dengan syarat tersebut (yakni: kamu harus penuhi syaratnya). Seorang mu’min itu terikat dengan syarat-syaratnya. (At-Tirmidzi dan Bihaqi)
Semisal dengan ini berfatwa Abdullah bin Mas’ud.
b. Maula Nafi’ bin Utbah bin Abi Waqqash: Saya melihat Sa’ad bin Abi Waqqash menikahkan putrinya dengan seorang pria dari kalangan penduduk Syam dan menetapkan syarat agar putrinya tidak dibawa pindah. (Ibnu Abdil Barr)
Semisal dengan ini Mu’awiyah dan Amr bin Al-Ash memfatwakan: Wajib bagi suami untuk memenuhi apa yang telah dipersyaratkan kepadanya.
(5) Logika. Penetapan syarat ini tidak berarti menghilangkan maksud atau tujuan dari nikah itu sendiri yakni untuk bersenag-senang serta tidak pula menafikannya terlebih lagi menyelisihi nash-nash syar’i. Bahkan sebaliknya hal ini justru mendukung nash yang ada sebagaimana tersebut di atas teristimewa hadits Ali dan Fathimah.
Nah, demikian kira-kira kedua pendapat yang ada beserta dalil-dalinya. Sekarang saya tinggalkan sejenak masalah ini untuk memberikan kesempatan kepada hadirin sekalian untuk melakukan pembahasan dengan membandingkan kedua pendapat tersebut dan bagaimana tarjihnya. Pastikan setiap point argument bisa diberikan ta’qib atau jawabannya.
Saya kira Pak Dede sudah siap untuk menurunkan tarjih ciamiknya untuk kemudian menutup pembahasan. Thread starter pan kudu tanggung jawab ceunah. Saya mungkin nanti sedikit mencoba menambahkan kalau memang belum terbahas, seperti biasa, dari sisi lain begitu, baru terbersit pagi tadi sambil nyetrika.
Wallahu ta’ala a’lam
Abu Ishaq As-Sundawy
Thursday, December 14, 2006 12:58 PM
Alhamdulillah washshalaatu wassalaamu ‘ala rasulillah wa’ala aalihi wa ashaabihi waman waalaah.
Kalau saja majalnya adalah makalah ilmiyyah, ingin rasanya menorehkan muqaddimah yang selama ini membuat diri gergetan ingin mengungkapkan sesuatu berkenaan dengan poligami teristimewa tentang kemulian wanita dalam Islam serta hak mereka yang tidak bisa dipandang begitu saja dengan sebelah mata.
Saudara, belakangan ini “rating” perbincangan tentang poligami sedang menanjak atau mungkin sudah di puncak. Tak terkecuali milist ini, bahkan adminnya sendiri yang mulai meniupkan angin menggelitik yang membuat sebagian anggota tak tahan untuk berdiam tidak ikut berbicara, Pak Ahmad –sudah saya duga sebelumnya- terlihat begitu antusias menanggapinya
Satu hal yang saya ajak saudara sekalian untuk sejenak meresapi, kerap dalam pembicaraan seputar poligami yang diangkat dan dihighlight adalah BAGAIMANA poligami yang baik, syaratnya serta teknis pelaksanaannya. Sering sekali luput dalam pembahasan itu mengenai KENAPA seseorang harus berpoligami dan sekiranya tidak luput pun maka tidak akan lebih dari sekedar alasan ‘emergency exit’.
Para ustadz dan mubaligh tak henti-henti mengedukasi umat akan dibenarkannya poligami dalam islam dan bagaimana poligami yang dibenarkan itu. Tapi sayang, sedikit sekali umat yang mengerti kenapa atau dengan tujuan apa Islam melegitimasi adanya poligami. Lebih spesifik, kenapa atau dengan tujuan apa seseorang itu sampai berpoligami. Sehingga tidak heran jika kita perhatikan argument mereka yang menentang poligami adalah lebih didasarakan pada masalah discredit dan ‘emergency exit’. Sialnya, mereka yang berpraktik poligami, kebanyakan beralasan sama, tidak peduli dia selebritis beriman tipis ataupun pemuka yang dari sisi keilmuan bisa dibilang di atas rata-rata. Duh…!
Mari kita sama-sama membukan tafsir (asbabun nuzul dan asbabul wurud) serta kitab para ulama, untuk sejenak mencari tahu KENAPA berpoligami, sehingga kita bisa mendapatkan suatu pemahaman menyeluruh dan bisa menyampikan kepada umat bahwa ada hal lain dalam poligami yang tidak semata hanya pada BAGAIMANA berpoligami.
Nah, kali ini saya belum tertarik untuk membahas KENAPA instead of BAGAIMANA. Silakan Pak Abu Umair dan Pak Ahmad menurunkan pembahasannya. Nada bicara antum berdua sudah menjurus tuh bapak-bapak… (lisaanul qaul dan juga lisaanul haal)! Semoga Allah memberikan kemudahan dan kelapangan rizki kepada Pak Abu Umair dan Pak Ahmad sehingga bisa dengan baik dan benar mengamalkan BAGAIMANA, namun demikian jangan lupa untuk memberikan jawaban yang istimewa manakala ditanya KENAPA. Kalau saya mah…ehm…out of record
Satu hal, silakan kalau mau dibuka diskusi baru, poligami a.k.a poligini dalam Islam untuk kondisi normal paling banter hukumnya mubah! Nah lho… yang bilang sunnah silakan beberkan dalilnya… Dan adil bukan merupakan syarat. (setidaknya sampai saat ini saya masih berpendapat demikian )
Berkenaan dengan masalah pengantin wanita mengajukan syarat ketika akad nikah agar tidak dimadu, saya penuhi undangan Pak Abu Umair nih untuk ikut meramaikan.
Pada Pak Abu Muhammad bin Kaswan saya mohon maaf untuk kali ini pun saya belum bisa memenuhi apa yang antum harapkan yaitu menulis dengan rapi lengkap dengan teks arab dan semisalnya. Menyengaja menulis atau menyusun suatu pembahasan ilmiyyah tentu tidak seperti ketika diksusi dimana yang diingat/terbersit itulah yang yang ditulis. Bagi saya pribadi, jika ingin menulis dengan bentuk yang Pak Abu Muhammad usulkan, maka saya harus serius menurunkannya dengan runut sistematis dan sudah tentu harus dengan penyebutan rujukan yang jelas terutama nomor ayat serta hadits. Kalau dikatakan, “lho kan hanya menuliskan dalam bentuk yang lebih rapi ya akhi, bukan membuat pembahsan ilmiyyah yang utuh?” Maka saya jawab, sama saja, rasanya ko’ ya ndak nyaman ya, menulis rapi kalo tidak mengusahakan maksimal…itu saya pribadi lho…
Alasan lain (sebetulnya lebih ke arah apologi J), sengaja dibuat demikian agar para anggota penasaran dan mau belajar agar bisa membuka dan megambil manfaat langsung ke buku induk. Sebab kalau ditulis lengkap semua terjemah kata/istilah, demikian juga hadits dan ayat, nanti dia merasa sudah cukup. Ayatnya ada, haditsnya ada, penjelasannya pun juga sudah tersedia. Tapi kalo sedikit-dua dikit kita simpan agar penasaran, tentu rasanya akan lain kan?:)
Pak Fuad, ini saya coba tulis dengan model yang antum inginkan. Mengemukakan pendapat dengan dalilnya serta ulama yang berpendapat demikian. Kalu ingin sampe bagimana tarjih dan qaidah yang digunakan, itu mah ya bukan diskusi lagi, tapi seseorang langsung menulis dan menurunkan pembahsan sementara yang lain hanya tinggal baca saja. Wah, tidak akan seru kalu begitu! Silakan, saya undang sampiyan untuk ikut berkomentar, kalau sudah saya buat begini masih ndak komentar juga, duh…kebangetan deh!
Kembali ke inti permasalahan, fabillaahi ta’ala nasta’in:
Masalah ini bukan masalah biasa yang bisa dengan mudah kita bawa ke khalayak ramai. Pastikan kita cukup bijak dalam menyikapinya. Apa yang sedari dulu tidak ‘populer’ tidak serta merta kita coba untuk mempopulerkannya sekarang. Patikan dulu kenapa itu tidak populer.
Dalam masalah ini, ringkasnya ada dua pendapat yang masing-masing memiliki alasan yang cukup kuat dan akurat:
1. Tidak boleh seorang wanita atau keluarganya menetapkan syarat dalam aqad nikah agar si wanita tidak dimadu. Jika ini terjadi, maka akad nikah tetap sah dan syarat yang ditetapkan tersebut tidak berlaku. Dengan kata lain si suami tidak harus memenuhi syaratnya dan status akad/pernikahannya tetap sah tidak terpengaruh sama sekali.
Berbaris dengan rapi dalam pendapat ini adalah para fuqaha dari kalangan Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Pendapat ini dinisbatkan juga kepada Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas serta sebagian fuqaha Tabi’in semisal Sa’id bin Al-Musayyib (Musayyab?), ‘Atha, Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri serta Ibrahim An-Nakha’i.
Tidak ketinggalan Ibnu Hazam sebagai wakil dari kalangan Zhahiri ikut berbaris di sini.
Dalilnya:
(1) Hadits Nabi: “Setiap syarat yang tidak ada di dalam Kitab Allah adalah bathil.” (Bukhari dan Muslim)
Menetapkan syarat agar tidak menikah lagi/memadu jelas bertentangan dengan apa yang ada di dalam kitab Allah bahkan bisa dikatakan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, di mana Allah berfirman: “Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi; dua, tiga atau empat.” (An-Nisa: 3)
Dengan demikian persyaratan tersebut bukan saja tidak ada dalam Kitab Allah malah justru bertentangan dengan apa yang jelas dan lugas tercantum dalam Kitab Allah.
(2) Hadits Nabi: “Setiap muslim terikat dengan syarat-syarat yang mereka tetapkan kecuali syarat yang implikasinya mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (At-Tirmizi dan Abu Dawud)
Penetapan syarat tidak boleh menikah lagi jelas merupakan bentuk mengharamkan sesuatu yang halal.
(3) Apa yang diriwayatkan dari sebagian shahabat diantaranya Ibnu Abbas bahwa mereka menetapkan sahnya aqad yang semisal itu. Adapun status syaratnya adalah gugur dan tidak harus dipenuhi.
(4) Logika. Pada hakekatnya, syarat seperti ini adalah janji seorang suami terhadap istrinya. Padahal yang namanya janji, kendati menepatinya termasuk bagian dari akhlak mulia, tidak dituntut secara syar’i sehingga si suami bisa saja ingkar dan tidak menepati.
2. Boleh hukumnya bagi seorang wanita atau keluarganya untuk menetapkan persyaratan ketika aqad nikah bahwa si suami tidak akan memadu si wanita. Kalau ini terjadi, maka aqadnya sah dan persyaratan itu juga ada. Artinya, si suami wajib memenuhi syarat ini. Kalau suatu saat si suami melanggar maka si istri berhak menuntut fasakh pernikahannya dan ia berhak menuntut dipenuhi semua haknya. (Coba buka buku fiqih, lihat Kitab Nikah bab Khulu’. Ada catatan penting berkenaan pengamalan hal ini. Jangan bilang kalau diantara anggota milis ini ada yang tidak tahu khulu’ malah baru mendengarnya sekarang:). Akhi, masalah nikah itu bukan hanya sebatas ta’arruf, nazhar, khithbah, ‘aqad serta thalaq, tapi ada juga yang namanya ‘ila, zhihar, khulu’ dll… Pahami dulu, baru ngobrol poligami yah… karena itu bisa terjadi lho manakala sampiyan kelak berpoligami. Katanya kan al-ilmu qabla al-qauli wal ‘amal
Berbaris di belakang pendapat ini adalah para fuqaha dari kalangan Hambali. Pendapat ini dipegang juga oleh sebagian shahabat diantaranya Umar bin Al-Khaththab, Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqash, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin Al-‘Ash. Dari kalangan tabi’in: Syuraih Al-Qadhi, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits bin Sa’d, Thawus, Az-Zuhri, Al-Auza’I, serta Sa’id bin Jubair.
Dalilnya:
(1) Redaksi sebagian ayat yang tegas menyatakan wajibnya menunaikan aqad, janji serta syarat. Diantaranya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Al-Maidah: 1)
“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 34)
Serta hadits Nabi: “Empat hal yang apabila terkumpul dalam diri seseorang maka dia adalah seorang munafiq sejati. Barang siapa yang terdapat dalaml dirinya salah satu dari keempat hal tersebut maka berarti dia sedang berada dalam salah satu cabang kemunafiqan sampai dia meninggalkannya: Apabila diberi amanat dia khianat, apabila bicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari dan apabila berselisih dia akan bermusuhan.” (Bukhari dan Muslim)
Ayat dan hadits ini jelas memerintahkan untuk memenuhi janji, aqad dan juga syarat serta apapun yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Termasuk dalam hal ini adalah syarat yang ditetapkan seorang istri kepada suaminya agar tidak memadunya.
(2) Hadits Nabi: “Syarat yang paling utama untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya kalian bisa halal berhubungan badan” (Bukhari)
Hadits ini tegas menyatakan bahwa setiap syarat yang bisa mengantarkan pada suatu pernikahan adalah harus ditunaikan karena masalah nikah lebih mulia kedudukannya serta lebih berharga dari pada harta. Penetapan syarat dari istri agar suami tidak memadunya adalah termasuk ke dalam bagian ini serta masyru’.dan suami wajib memenuhnya.
(3) Hadits Nabi ketika Ali meminang putri Abu Jahl kemudian Fathimah mengetahuinya lalu datang kepada Nabi seraya mengatakan: Kaum mu mengira kalau engkau tidak bisa marah demi membela putrimu padahal Ali hendak menikahi putri Abu Jahl. Mendengar penuturan Fathimah ini Nabi segera bediri seraya mengatakan: “Sesungguhnya Fathimah adalah bagaian dari diriku, sehingga akan menyakitiku apapun yang menyakitinya, sungguh saya tidak suka sekiranya mereka berbuat jelek terhadapnya… Sesungguhnya Bani Hisyam bin Al-Mughirah telah datang meminta ijin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, maka saya tidak mengijinkannya dan tidak akan mengijinkannya. Saya tidak sedang mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram. Hanya saja tidak akan pernah bersatu putri rasulullah dengan putri musuh Allah kecuali jika Ibnu Abi Thalib menceraikan putriku.” (Bukhari dan Muslim)
Dari hadits ini tampak bahwa Nabi menetapkan syarat kepada Ali agar tidak memadu Fathimah serta tidak melakukan perbuatan yang bisa menyakiti hatinya. Sehingga ketika Ali berniat untuk menyelisihi syarat ini maka Nabi segera mengingatkannya dengan hal tersebut. Dan beliau mema’lumkan kepada manusia bahwa beliau tidak akan melepaskan syarat itu dan beliau dengan sikapnya ini tidak berarti sedang mengharamkan yang halal dan tidak pula penghalalkan yang haram. Akan tetapi ini semua adalah berkaitan dengan apa yang Ali pilih dan wajib dia penuhi.
(4) Apa yang diriwayatkan dari sebagian shahabat bahwa mereka berfatwa dan menetapkan wajibnya suami memenuhi syarat tersebut jika sejak awal memang meridhainya:
a. Seseorang berkata kepada Umar: Saya menikahi seorang wanita dan dia menetapkan syarat berkaitan dengan rumahnya dan agar saya tidak mengajaknya safar. Namun saya harus bersafar bersamanya ke daerah ini dan itu. Maka Umar menjawab: Dia berhak dengan syarat tersebut (yakni: kamu harus penuhi syaratnya). Seorang mu’min itu terikat dengan syarat-syaratnya. (At-Tirmidzi dan Bihaqi)
Semisal dengan ini berfatwa Abdullah bin Mas’ud.
b. Maula Nafi’ bin Utbah bin Abi Waqqash: Saya melihat Sa’ad bin Abi Waqqash menikahkan putrinya dengan seorang pria dari kalangan penduduk Syam dan menetapkan syarat agar putrinya tidak dibawa pindah. (Ibnu Abdil Barr)
Semisal dengan ini Mu’awiyah dan Amr bin Al-Ash memfatwakan: Wajib bagi suami untuk memenuhi apa yang telah dipersyaratkan kepadanya.
(5) Logika. Penetapan syarat ini tidak berarti menghilangkan maksud atau tujuan dari nikah itu sendiri yakni untuk bersenag-senang serta tidak pula menafikannya terlebih lagi menyelisihi nash-nash syar’i. Bahkan sebaliknya hal ini justru mendukung nash yang ada sebagaimana tersebut di atas teristimewa hadits Ali dan Fathimah.
Nah, demikian kira-kira kedua pendapat yang ada beserta dalil-dalinya. Sekarang saya tinggalkan sejenak masalah ini untuk memberikan kesempatan kepada hadirin sekalian untuk melakukan pembahasan dengan membandingkan kedua pendapat tersebut dan bagaimana tarjihnya. Pastikan setiap point argument bisa diberikan ta’qib atau jawabannya.
Saya kira Pak Dede sudah siap untuk menurunkan tarjih ciamiknya untuk kemudian menutup pembahasan. Thread starter pan kudu tanggung jawab ceunah. Saya mungkin nanti sedikit mencoba menambahkan kalau memang belum terbahas, seperti biasa, dari sisi lain begitu, baru terbersit pagi tadi sambil nyetrika.
Wallahu ta’ala a’lam
Abu Ishaq As-Sundawy
Komentar
Posting Komentar