
Oleh: Amran Nasution *
Presiden Amerika terpilih Barack Hussein Obama akan menutup penjara Guantanamo, menarik pasukan dari Iraq, dan berunding dengan Iran. Tapi di Amerika sendiri kalangan aktivis HAM menuntut Obama memeriksa dan mengadili Georga Bush untuk berbagai kejahatan yang ia lakukan.
Jonetta Rose Barras, analis politik dan penulis buku laris itu, mengamati Barack Hussein Obama dengan jeli. Wanita kulit hitam itu belum lama menulis sebuah artikel di Washington Post, mengingatkan pembaca bahwa Obama tak pernah menempatkan diri dalam posisi sebagai juru bicara orang kulit hitam Amerika. Jadi ia berbeda dengan Jesse Jackson, tokoh kulit hitam yang pernah menjadi nominator calon presiden Partai Demokrat atau bahkan Martin Luther King, pendeta, pejuang hak-hak sipil yang mati ditembak itu. Apalagi Louis Farrakhan, pemimpin Nation of Islam yang dituduh sangat anti-Yahudi.
Ayahnya, Barack Hussein Obama (Senior) memang berkulit hitam, tapi ia bukanlah keturunan budak Amerika. Ia seorang pemuda cerdas dari Kenya yang terpilih mendapat bea siswa untuk belajar ke Amerika Serikat. Lebih tepatnya: Barack Hussein Obama Senior adalah seorang warga asing yang datang ke Amerika guna menuntut ilmu. Di sebuah kampus di Hawai, ia berkenalan dan kemudian menikah dengan seorang ahasiswi kulit putih asal Kansas. Dari situ lahir Obama Yunior. Sang ayah kemudian menamatkan sekolahnya di Harvard University, salah satu perguruan tinggi terbaik Amerika, lalu kembali ke negerinya.
Obama Yunior nyaris tak kenal ayahnya, karena sang ayah bercerai dengan ibunya ketika ia masih sangat kecil. Ia dibesarkan sang ibu, lalu kemudian oleh kakek dan neneknya dari garis ibu, semua adalah warga kulit putih. Kisah ini oleh Obama dengan sangat cerdas dimanfaatkan dengan baik di panggung-panggung kampanye. Fotonya bersama sang ibu atau kakek dan neneknya tersebar luas. Kisah ibunya yang meninggal dalam usia terhitung muda oleh penyakit kanker selalu dijadikan ilustrasi oleh Obama ketika mengkampanyekan program jaminan kesehatan. Neneknya yang kebetulan meninggal dalam usia tua di Hawai menjelang pencoblosan, membantu pencitraan Obama sebagai calon presiden yang memiliki darah kulit putih.
Memang lawan mencoba mengaitkan Obama dengan keluarga ayahnya yang Muslim di Benua Afrika sana. Tapi itu tak berhasil maksimal karena Obama memang tak mengenal ayahnya, selain karena kehati-hatiannya dalam berkampanye. Dalam salah satu kampanye, misalnya, seorang wanita berjilbab yang menempati baris depan panggung segera disingkirkan panitia, sebelum Obama sampai di arena. Bila tidak, jilbab itu pasti akan dijadikan lawan menghabisinya. Ia terbukti berhasil. Exit poll menunjukkan Obama dipilih 44% pemilih kulit putih.
Itu sebuah angka yang tinggi untuk seorang calon Partai Demokrat. Lebih tinggi dari pemilih John Kerry (dalam Pemilu 2004) dan Al Gore (2000). Dua kandidat Partai Demokrat itu dipecundangi calon Partai Republik, George Bush. Bahkan lebih tinggi dari pemilih Bill Clinton, ketika sebelumnya selama dua priode Clinton terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat.
Jadi, adalah salah kalau terpilihnya Obama sebagai Presiden Amerika Serikat dilihat sebagai pertanda sudah selesainya masalah diskriminasi rasial di Amerika Serikat. Apalagi kalau terpilihnya Obama dikatakan sebagai tuntutan ide demokrasi, seperti ditulis Profesor William Liddle dari Ohio State University, Indonesianis yang banyak punya murid di Indonesia.
Cara Liddle mengkampanyekan demokrasi Amerika Serikat di koran Kompas, 7 November lalu, mirip Presiden Bush sewaktu menjajakan demokrasi ke Timur Tengah. Sekadar ilustrasi, di saat orang masih ramai membicarakan kemenangan Obama, di Louisiana, polisi menangkap belasan orang anggota Ku Klux Klan (KKK), kelompok ultra kanan yang gemar menggunakan kekerasan terhadap orang Hitam dan Yahudi. Mereka dituduh membunuh seorang wanita asal Oklahoma karena wanita itu ingin mengundurkan diri dari kelompok KKK. Apakah KKK yang sangat kejam dan sangat rasis itu juga adalah bukti tuntutan demokrasi Amerika?
Koran terkemuka The New York Times, 12 November lalu, menurunkan editorial mengkritik apa yang terjadi di sebuah taman kota di Utah. Di taman yang bernama Pioneer Park, pemerintah kota hanya mengizinkan berdiri Monumen Ten Commandments (Sepuluh Perintah Tuhan) dari Kristen.
Kelompok agama yang lain menamakan diri Summum ingin membuat monumen sendiri di taman itu, yang mereka sebut sebagai Seven Principles of Creation. Mereka yakini bahwa seven principles of creation juga diturunkan Tuhan kepada Musa di Gurun Sinai. Ternyata pemerintah kota melarang rencana mereka. Merasa hak konstitusionalnya sesuai amendemen pertama dikebiri mereka menggugat ke pengadilan. Nyatanya mereka dikalahkan. Padahal menurut editorial itu, property milik publik seperti taman kota harus erbuka untuk semua agama dengan hak sama. Atau sebaliknya, semua agama dilarang bikin monumen di situ.
Tapi begitulah Amerika. Peristiwa mirip seperti ini – bentuk-bentuk diskriminasi -- tak sulit ditemukan. Di Indonesia. Kedubes Amerika sibuk mengurusi kelompok Ahmadiyah, padahal di Amerika sendiri sudah bertahun sampai sekarang kelompok Ahmadiyah gagal mendirikan masjid di kawasan Frederick, Maryland, karena urusan izin. Tanah luas sudah mereka miliki, dan masjid itu mereka rencanakan menjadi pusat Ahmadiyah di Amerika.
MEMUJA KETAMAKAN
Harus diakui, Obama seorang yang istimewa. Coba, ia bisa belajar di Columbia University dan kemudian Harvard, dua universitas terkemuka. Di Harvard, ia selalu tergolong dalam kelompok satu persen mahasiswa paling pintar(top one percent). Ia meraih gelar doktor hukum (JD) dengan yudisium yang membanggakan. Ketika dengan gelar itu teman-temannya bekerja di perusahaan besar dengan gaji berlimpah, Obama pergi ke Chicago mengabdikan ilmunya bagi rakyat. Agaknya, sejak awal ia telah merintis apa yang diperolehnya sekarang. Apalagi selain cerdas, ia ganteng, suaranya bariton, dan sangat pandai berpidato (eloquence).
Tapi kunci suksesnya yang utama adalah keberhasilan memojokkan John McCain dalam kubu yang sama dengan Presiden George Bush, dengan menyebut pencalonan lawannya sebagai priode ketiga Presiden Bush.
Mayoritas rakyat Amerika memang sudah muak kepada Bush karena memberikan penderitaan pada rakyatnya sendiri. Berbagai polling menunjukkan dukungan terhadap Bush di bawah 30%. Maka Obama mensejajarkan John McCain dengan Bush, sesama calon Partai Republik. Bush menyebarkan demokrasi ke Timur Tengah dengan moncong senjata. Akibatnya satu juta rakyat Iraq meninggal dunia, jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan jutaan lagi menjadi pengungsi di Jordania dan Syria.
Perang melawan teror yang diproklamirkan Bush menyusul serangan terhadap Menara Kembar WTC dan Gedung Pentagon, berubah menjadi penjajahan terhadap Afghanistan. Tak sedikit rakyat yang tak berdosa menjadi korban – termasuk disebabkan rudal Amerika yang suka nyasar ke pesta perkawinan.
Belum cukup. Untuk menggetarkan lawan-lawannya Bush menciptakan penjara seram diGuantanamo, mirip Gulag, rumah penjara pemerintahan komunis Uni Soviet dulu. Hampir 800 orang ditangkap dari berbagai kawasan, terutama Timur Tengah, dijebloskan ke Guantanamo. Bertahun-tahun mereka disiksa, tak boleh ditemui, dan martabatnya dihinakan. Profesor Liddle perlu ditanya, apakah Guantanamo juga bagian dari tuntutan ide demokrasi Amerika?
Mereka dituduh teroris tapi tak pernah diadili. Belakangan mereka mulai dilepaskan secara diam-diam. Maka sejumlah buku terbit dengan para mantan tahanan itu sebagai nara sumber, menyebabkan mata dunia terbelalak mengetahui betapa kejam perlakuan pemerintahan demokratis Amerika Serikat (yang terbaru, antara lain, bacalah The Dark Side, ditulis Jane Mayer, wartawati The New Yorker).
Semua ini menyebabkan Amerika – terutama Presiden Bush -- dibenci masyarakat dunia, termasuk di Eropa. Berbagai survei menunjukkan begitu. Tak aneh kalau sambutan atas terpilihnya Obama datang dari seluruh dunia.
Komentar
Posting Komentar